www.lintas.me

Suatu hari saya membaca berita di sebuah situs online. Tiba-tiba cucu saya yang belum berusia 3 (tiga) tahun menunjukkan telunjuk jarinya ke sebuah gambar. Dengan ringan ia berkata, “Jokowi!”. Tentu saja saya kaget. Anak seusia itu sudah mengenal sosok yang biasa tampil/ ditampilkan televisi. Lalu saya pun mengatakan, “Kamu memang pintar!”.

Begitu kuat pengaruh televisi bagi pemirsanya, meski pemirsa tidak fokus atas pemberitaan yang tengah tayang di kotak kaca itu. Bahkan bisa jadi, banyak pemirsa salah memahami isi berita yang ditayangkan, cucu saya yang berusia tiga tahun itu misalnya. Inilah gejala menarik yang terjadi belakangan ini. Dan kian menarik manakala pilpres yang semarak itu (setidaknya di televisi) menyentuh semua kalangan usia, termasuk yang belum mempunyai hak pilih dan tidak terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT). 

Alhasil, membaca strategi yang dilakukan dua pasang capres cawapres pada pilpres 2014, setidaknya ada 3 (dua) jenis atau dua cara yang dilakukan. Strategi terbuka dan strategi tertutup. Strategi terbuka dilakukan oleh kubu Jokowi - Jusuf Kalla, dan strategi tertutup dilakukan oleh kubu Prabowo – Hatta. Asumsinya adalah, pertama, ekspos media massa yang menguntungkan Jokowi. Blusukan ala Jokowi pasti terpublikasi secara luas dan (bisa saja) gratis karena awak media memerlukan pemberitaan mutakhir atas aktivitas Jokowi.

Di lapangan, masyarakat lebih mengenal Jokowi ketimbang Prabowo. Meski Prabowo lebih awal mengkampanyekan diri menjadi capres dari Partai Gerindra, namun tetap saja volume pemberitaan Jokowi lebih tinggi. Jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta sudah pasti terekspos media, maka Jokowi selalu menjadi pembicaraan publik. Wajar jikalau elektabilitasnya melampaui Prabowo.

Tim Prabowo memang sudah lebih setahun mempromosikan sosok Prabowo melalui televisi dan lain-lain. Namun pada saat yang sama, Jokowi yang kala itu belum pasti nyapres lebih besar porsi pemberitaannya lantaran ia berstatus kepala daerah. Tak heran apabila Tim Pemenangan Jokowi, J4P, memperoleh keuntungan lebih sebagai efek domino media massa.

Inilah strategi kampanye terbuka yang saya maksud. Terbuka dalam pengertian memperoleh dukungan pemberitaan media massa. Prabowo pun memperoleh dukungan media massa dan secara terbuka disebarkan ke mana-mana. Akan tetapi strategi marketing Jokowi lebih baik dibanding Prabowo.

Seorang teman, pegiat PDI Perjuangan, suatu saat berkata begini, “Kader partai adalah sales partai. Ia harus mempromosikan produknya, meyakinkan calon pembeli, mempengaruhi calon pembeli – sehingga produknya dibeli”.  Peluang salesman antara lain perluasan jaringan (dalam hal ini calon pembeli) sehingga produknya dikenal masyarakat. Ia pun harus tahu keunggulan produk yang ditawarkannya.

Pada promosi sebuah produk niaga tak jarang calon pembeli membandingkan dan atau menanyakan komoditi sejenis yang diproduk perusahaan lain. Calon pembeli itu biasanya membandingkan harga (ini yang paling umum), melihat kualitas yang biasanya dikuatkan oleh iklan media massa, juga mempertimbangkan kuantitas komoditi tersebut dengan komoditi sejenis produk perusahaan pesaing. Mengatasi hal itu –mungkin lantaran dibandingkan— maka salesman secara spontan (penuh kesadaran) kian angot memuji keunggulan produknya. Dalam kesempatan itu bisa saja dia membual, karena yang penting produk jualnya dibeli. Dan ketika calon pembeli tetap kukuh memuji produk lain, maka sang salesman itu pun memburukkan kualitas produk yang dibicarakan lawan bicaranya.

Berbeda ketika calon pembeli tidak ngotot menyebut keunggulan produk lain. Pada posisi ini salesman leluasa membandingkan produknya yang (katanya) lebih hebat dari produk mana pun. Hmm… jualan kecap pasti selalu yang terbaik dan tidak terkalahkan. Demikian pula kampanye politik. Blusukan, kekuatan orasi dan sebagainya adalah upaya memenangkan pilpres 9 Juli 2014.

Dalam korelasi pilpres, kampanye tim pemenangan capres pasti menggunakan cara ini. Siapa pun pelakunya sudah pasti senantiasa mengatakan bahwa capres yang diusungnya lebih baik serta lebih layak menjadi RI 1. Sementara lawannya diburukkan sedemikian rupa sehingga diharapkan mempengaruhi opini publik/ calon pemilih. Demikianlah pembaca budiman, semakin kuat promosi capres semakin besar peluang mendeskriditkan pesaingnya. Semakin kerap terpublikasi semakin kerap potensi terjadi black campaign yang dilakukan secara sadar.

Pemasaran sebagai satu jenis kampanye pilpres memiliki kelemahan yang cukup fatal, yakni berlangsungnya negative campaign dan black campaign. Kendati begitu kelemahan jenis kampanye ini bisa disiasati jikalau para sales partai bekerja dengan baik dan profesional. Tidak membandingkan produk jualnya dengan produk sejenis. Tidak memburukkan produk mana pun kecuali ngotot mengenalkan/ mempromosikan produk sendiri.

Rayulah calon pembeli dengan cara-cara yang cantik yang tidak mencederai perasaan publik. Jikalau perasaan publik tercederai maka boleh dikatakan, salesman itu gagal memerankan profesinya. Gagal menerapkan jiwa dan karakter pebisnis yang mumpuni. Lihat saja beberapa kampanye hitam dan kampanye negatif dalam kenduri nasional 9 Juli 2014, sudah berapa banyak perasaan publik yang cedera hanya lantaran kegagalan menawarkan produk unggulan di hadapan calon pemilih.

Berita di media cetak elektronik dan media sosial, kian dekat ke tanggal 9 Juli kian sering memajang kampanye yang kurang sehat. Bahkan sudah menohok langsung ke masalah pribadi yang tidak terkait dengan politik. Kampanye model ini sebaiknya dikurangi porsinya (syukur kalau dihilangkan) karena sama sekali bertentangan dengan karakter sang empat tokoh yang menjadi subjek pemberitaan kampanye negatif dan kampanye hitam.

Menurunkan suhu kampanye politik akan berbuah kebaikan bagi masyarakat Indonesia.   Bertepatan dengan suasana bulan Ramadhan, kampanye politik yang dilaksanakan para sales partai semoga tidak dilaksanakan dengan meminjam kegiatan buka puasa bersama. Bawaslu telah mengeluarkan larangan kampanye capres yang mengatasnamakan buka puasa bersama di mesjid-mesjid. Kedekatan kepada komunitas agama sebaiknya tidak dilakukan di rumah-rumah ibadah. Meski tetap saja sulit terhindarkan, diharapkan segenap sales partai sepakat atas aturan kampanye terbuka yang telah disepakati. ***

 

(rr)